Kamis, 03 Maret 2011

qunut subuh

مذهبنا أنه يستحب القنوت فيها سواء نزلت نازلة أم لم تنزل وبهذا قال اكثر السلف ومن بعدهم او كثير منهم وممن قال به أبو بكر الصديق وعمر ابن الخطاب وعثمان وعلي وابن عباس والبراء ابن عازب رضي الله عنهم (المجموع ج 3 ص 504)

عن أنس، أن النبي ص م قنت شهرا يدعوا عليهم ثم ترك فأما فى الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا (رواه البيهقى والدارقطنى، المجموع ج 3 ص 200)

ليس لك من الأمر شيئ أو يتوب عليهم او يعذبهم فإنهم ظالمون (ال عمران 128)

عن أبى هريرة رضي الله عنه كان النبي ص م يقول؛ حين يفرغ صلاة الفجر من القراء ويكبر ويرفع رأسه "سمع الله لمن حمده ربنا ولك الحمد ثم يقول وهو قائمح اللهم انج الوليد ابن الوليد وسلمة ابن هشام وعباس ابن أبى ربيعة والمستضعفين من المؤمنين. اللهم اشددوطأتك على مضر واجعلها عليهم كسني يوصف. اللهم العن لحيان ورعلا وذكوان وعصية عصت الله ورسوله" ثم بلغنا أنه ترك ذلك لما نزل قوله تعالى؛ ليس لك من الأمر شيئ أو يتوب عليهم او يعذبهم فإنهم ظالمون (الطبري، ج 3 ص 89. صحيح مسلم ج 5 ص 176-177)

عن أنس أن رسولالله ص م قنت شهرا بعد الركوع يدعوا على أحياء من أحياء العرب ثم تركه (رواه البخاري ومسلم ج 5 ص 180)

عن أنس قال؛ كان القنوت في المغرب والفجر (رواه البخاري. صحيح البخاري ج 1 ص 127)

عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال؛ لأقربن صلاة النبي ص م فكان أبو هريرة رضي الله عنه يقنت في الركعة الأخرى من صلاة الظهر وصلاة العشاء وصلاة الصبح بعد ما يقول سمع الله لمن حمده فيدعوا للمؤمنين ويلعن الكفار (رواه البخاري. صحيح البخاري ج 1 ص 104)

عن ابن عباس وغيره، أن النبي ص م كان يعلمهم هذا الدعاء ليدعوا به في القنوت من صلاة الصبح (رواه البيهقي. البيهقي ج 2 ص 210)


bersambung...

Rukyatul Hilal

PEMAHAMAN ULAMA AHLUSSUNNAH MENGENAI RUKYATUL HILAL
Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi saw yang berpesan kepada umatnya dalam sabdanya: “bahwa Ulama’ umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan, bila kamu melihat perbedaan pendapat diantaramu, ikutilah pendapat mayoritas Ulama“ HR. Ibnu Majah dari Anas Ibnu Malik (Sunan Ibn Majah I/414-415)

Di sini saya hanya MENULISKAN ULANG pemahaman Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah khususnya dalam lingkungan ulama Madzhab Syafi’iyyah mengenai Rukyatul hilal. Tulisan ini tidak ada maksud sedikitpun untuk memperkeruh khilafiah ini, namun hanya untuk menjelaskan secara ahsan. Firman Allah:
أدعوا إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن، إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين (الأية)

DALIL-DALIL RUKYATUL HILAL

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن حالت دونه غيابة فأكملوا ثلاثين يوما (رواه الترمذي)
“puasalah kamu sekalian sesudah melihat bulan, dan berhari rayalah setelah melihat bulan pula. Kalau bulan itu tertutup awan, maka sempurnakanlah (bulan yang terdahulu) 30 hari” (HR. Tirmidzi)

Dan dalam Al-Qur’an juga disebutkan:
فمن شهد منكم الشهر فاليصمه (الأية)
“Siapa yang melihat bulan (hilal) maka puasalah...”

Jadi, dalam kaitanya dengan peribadatan, umat islam menggunakan rukyah untuk menentukan awal ataupun akhirnya suatu ibadah, seperti puasa atau haji atau ibadah lainya.

Kalangan Hanafiah, Malikiah, Syafi’iyyah dan Hanabilah sepakat, bahwa hisab tidak dapat dijadikan dasar untuk itsbat (penetapan) awal Ramadhan

Wallohu A’lam.

Reformasi Timur Tengah

Berita gerakan reformasi yang merembet dari satu Negara ke Negara lain di Timur Tengah cukup mendapat perhatian tersendiri di negara kita, yang notabene berpenduduk muslim dan masih satu saudara muslim. Beragam penilaian pun dikeluarkan oleh berbagai tokoh dan kalangan. Ada yang lewat khutbah jum’at, ada yang lewat bulletin oleh ormas tertentu, ada juga yang lewat media cetak.

Ada yang menilai bahwa kejadian ini terjadi karena para pemimpin dikatator, otoriter, berkhianat terhadap umat, menelantarkan kemaslahatan umat, membuat kerusakan di muka bumi, menjual kekuasaan dan kedaulatan negerinya kepada musuh Allah, menguras kekayaan negeri, zalim, dan lain-lain. Kritikan-kritikan ini bersifat positif dan membangun.

Namun ternyata ada juga sebagian kecil yang bersifat sinis dan merendahkan. Di sebuah media cetak, ada yang menilai bahwa umat islam di Timur Tengah banyak mengalami kebodohan dan ketertinggalan dari segi pendidikan formal, itu masih dapat diterima. Akan tetapi kalau penilaianya sudah ke masalah merendahkan suatu kaum dan memandang rendah segala apa yang dilakukannya, ataupun selalu mencari-cari aib suatu kaum tanpa memandang/menghiraukan begitu saja sedikitpun segi positif suatu kaum , itu telah lewat dari batas wajar kritikan. Janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain, karena bisa jadi, dalam bidang tertentu kaum itu lebih unggul dari orang yang merendahkan tersebut. Jangan dicampuradukan dalam membahas suatu massalah. Pembahasan masalah haruslah objektif dan sesuai dengan bidang masing-masing supaya tidak salah dalam menilai sehingga mengkaburkan masalah inti yang sebenarnya.

Cukup sudah umat islam ini dibebani dengan rendah-merendahkan tak henti yang malah memperkeruh dan menceri-beraikan umat. Janganlah selalu menimbulkan syubhat-syubhat yang meruntuhkan persatuan umat. Sungguh, umat islam ini sudah lelah dengan pertikaian yang tak henti-henti, sementara musuh-musuh islam sedang menertawakan kita, mencemooh kita, mempermainkan dan mengadu-domba kita sesama saudara muslim sehingga senantiasa lemahlah kekuatan kita. Hendaklah saudara muslim yang (merasa) sudah modern tidak memandang rendah saudara muslim lainnya yang masih tertinggal. Buat apa menjadi orang modern dan terhormat jika masih merendahkan orang lain? Bersihkanlah hati kita terhadap prasangka yang tidak-tidak kepada saudara muslim yang lain, karena sesungguhnya prasangak buruk itu sungguhlah sebagian dari akhlak yang tercela, padahal masalahnya bukanlah inti dari din in .Buang jauh-jauh prasangka…

Wallohu A’lam

Pemahaman Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah, Khususnya dalam Lingkungan Ulama Madzhab Syafi'iyyah Mengenai Bid'ah

Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi saw yang berpesan kepada umatnya dalam sabdanya: “bahwa Ulama’ umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan, bila kamu melihat perbedaan pendapat diantaramu, ikutilah pendapat mayoritas Ulama“ HR. Ibnu Majah dari Anas Ibnu Malik (Sunan Ibn Majah I/414-415)

Di sini saya tidak berani mengemukakan pendapat pribadi saya. Saya hanya MENULISKAN ULANG pemahaman bid’ah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah khususnya dalam lingkungan ulama Madzhab Syafi’iyyah dari mulai kurun permulaan umat islam yang terbaik, yakni Salafus Sholih sampai ulama-ulama Muta’akhkhirin/Khalaf. Adapun referensi yang pernah dibaca adalah buku-buku Sirojuddin ‘Abbas, ke-NU-an, “Risalah Bid’ah wa Sunnah” Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, buku-buku habib Munzir Al Musawa, “Hujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” yang pernah dikaji di pesantren, ataupun ceramah-ceramah Al-Allamah Habib Umar Yaman dan lain sebagainya.

DALIL-DALIL MENGENAI BID’AH
pertama
إياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة (رواه أبو داود، سنن أبى داود ج 4 ص 201)
“…jauhilah perkara baru yang diada-adaka (bid’ah), karena “semua” yang baru yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan “semua bid’ah” itu adalah sesat “ (HR. Abu Dawud, juz 4 hal 201)

kedua
من أحدث في امرنا هذا ما ليس منه فهو رد (شرح مسلم، ج 12 ص 16)
“…barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini (urusan agama) sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan itu ditolak (tidak diterima atau bathal)” (HR. Muslim, Syarah Muslim, juz 12 hal 16)
ketiga
من عمل عملا ليس عليه امرنا فهو رد (رواه مسلم، صحيح مسلم ج 12 ص 16)
“….barangsiapa yang mengerjakan amal ibadat yang tidak kami perintahkan, maka amalnya itu ditolak” (HR. Muslim, Syarah Muslim, juz 12 hal 16)

keempat
“Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.

kelima
Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yang mereka itu para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : BAGAIMANA AKU BERBUAT SUATU HAL YANG TIDAK DIPERBUAT OLEH RASULULLAH…?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku SAMPAI ALLAH MENJERNIHKAN DADAKU dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”
Berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).

keenam
نعمة البدعة هذه (رواه البخار، صحيح البخار، ج 1 ص 242)
Ketika melihat shalat tarawih berjama’ah terus menerus dalam bulan Ramadhan, Sayyidina Umar ra berkata: “ini adalah bid’ah yang baik” (Sahih Bukhari, juz 1 hal 242)

Dan lain-lain.

PEMAHAMAN ULAMA BERDASARKAN DALIL-DALIL TERSEBUT

1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
البدعة بدعتان؛ محمودة ومذمومة، فما وافق السنة فهو محمود، وما خالفها فهو مذموم (فتح البار، ج 17 ص 10)
“bid’ah itu ada dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji adalah yang sesuai dengan Sunnah Nabi dan bid’ah yang tercela adalah yang tidak sesuai atau menentang dengan Sunnah Nabi” (Fathul Baari, juz 17 hal 10)
Dalam ungkapan lain Imam Syafi’I yang masyhur, beliau berkata:
المحدثات ضربان؛ ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال، وما احدث من الخير لايخالف شيأ من ذلك فهي محدثة غير مذمومة (فتح البار، ج 17 ص 10)
“pekerjaan yang baru itu ada dua macam: 1. Pekerjaan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Qur’an, Sunnah Nabi, Atsar dan Ijma’, ini dinamakan bid’ah dholalah. 2. Pekerjaan keagamaan yang baik, yang tidak menentang salah satu darinyang tersebut di atas, adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela” (Fathul Baari, juz 17 hal 10)
Demikian yang dikemukakan Imam Syafi’I ra, beliau adalah seorang ulama salaf yang madzhabnya diikuti mayoritas umat Islam.

2. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah
yang haram.
Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yang Mubah adalah bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Bahkan Imam Nawawi ra menganjurkan umat islam membaca ushalli dengan memfatwakan sunnat membaca ushalli sebelum takbiratul ihram. Imam Nawawi adalah juga seorang ulama besar dalam madzhab Syafi’i. selain pengarang kitab-kitab fiqih mazhab Syafi’i, beliau juga ahli Hadits, pensyarah kitab sahih Muslim dan pengumpul Hadits seperti dalam kitabnya “Riyadhusshalihin”, “Al-adzkar” dan lain-lain.

3. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

4. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah
اصل البدعة ما أحدث على غير مثال سابق، وتطلق فى الشرع على ما يقابل السنة اي ما لم يكن في عهده صلى الله عليه وسلم ثم تنقسم الى الأحكام الخمسة (تنوير الحالك، ج ص 137)
“Maksud yang asal dari perkataan bid’ah adalah sesuatu yang baru diadakan tanpa contoh terlebih dahulu. Dalam istilah syari’at, bid’ah adalah lawan dari sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad saw. Kemudian hokum bid’ah terbagi kepada hokum yang lima” (Tanwirul Halik (Syarh Muwatha’), juz 1 hal 137).
Imam Jalaluddin Assuyuthi berpendapat bahwa hokum bid’ah itu takluk kepada hokum fiqih yang lima, yaitu wajib, sunat, haram, makruh dan jaiz.
Imam Suyuthiadalah seorang Ulama besar dalam lingkungan Madzhab Syafi’I, pengarang kitab Syarah Muwatha’ nya imam Malik, Syarah Nasai, dan setengah tafsir Jalalain.

5. Ibnu Hajar Al Atsqolani
Pendapat membagi bid’ah kepada hokum yang lima diperkuat oleh Ibnu Hajar Al-Atsqolani seorang ulama besar dalam lingkungan madzhab Syafi’I dan pengarang kitab Fathul Baari syarah Bukhari. Beliau berkata:
وقسم بعض العلماء البدعة الى الأحكام الخمسة وهو واضح (فتح البار، ج 17 ص 10)
“dan membagi sebagian ulama tentang bid’ah ini kepada hokum yang lima. Ini terang” (Fathul Baari, juz 17 hal 10)

6. Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam
Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam seorang ulama besar dalam madzhab Syafi’i menerangkan dalam kitabnya Qawaidul Ahkam begini:
“bid’ah itu adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rosululloh saw”
Maksudnya, sekalian pekerjaan keagamaan yang belum ada atau tidak dikenal pada zaman Rosululloh saw adalah bid’ah.
Kemudian mengenai pengumpulan ayat Al-Qur’an kedalam satu mushaf, membukukan hadits, membukukan fiqih dan tafsir Qur’an, membukukan ilmu ushuluddin, merayakan Maulid dll termasuk kepada bid’ah yang terpuji. Sedangkan mencampur adukan pelajaran keagamaan dengan falsafah Yunani, dll termasuk bid’ah yang tercela.
Dan lain-lain.
Demikianlah pemahaman bid’ah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah khususnya dalam lingkungan ulama Madzhab Syafi’iyyah. Jadi, adalah tidak benar kalau beberapa abad terakhir ini sebagian kalangan islam yang mengatasnamakan ijtihad semua umat islam bahwa semua bid’ah adalah dholalah. Silahkan saja mereka membuat definisi tentang bid’ah, tapi jangan membid’ahkan ulama-ulama terdahulu yang telah masyhur.

PENUTUP
Berawal dari masalah bid’ah ini, seringkali menimbulkan perpecahan sesama muslim menyangkut Maulid, Brazaznji, Diba, melafalkan niat, dan amalan-amalan ibadah yang bersifat umum lainnya, amalan yang ghoiru mahdhoh (tidak baku kaifiah/tatacaranya) namun dengan gampang dicap sesat, padahal itu bukanlah menambah-nambah syariat baru dalam islam karena merupakan ibadah ghoiru mahdhoh. Perpecahan sepatutnya dihindari karena sesungguhnya sesama muslim itu bersaudara, sesama muslim itu saling mencintai, sesama muslim itu ibarat bangunan yang saling megokohkan, oleh karenanya jangan mau diadu domba! Tidak pula sepatutnya sesama muslim saling menghujat, saling caci, karena sesungguhnya seorang Mukmin itu tidak suka mencaci, melaknat, menghujat dan seterusnya.ليس المؤمن باللعان.... Tulisan ini tidak ada maksud sedikitpun untuk memperkeruh khilafiah ini, namun hanya untuk menjelaskan secara ahsan apa yang kami yakini. Firman Allah:
أدعوا إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن، إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين (الأية)
ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ماجاءهم البينات (الأية)

Sesungguhnya khilafiah itu maujud, seperti khilafiahnya sahabat waktu bepergian ke kaum bani Quraidzoh, khilafiah batasan mengusap kepala ketika wudlu diantara para imam madzhab, dll. Imam Syafi’i meyakini bahwa yang diijtihadinya itu benar, tetapi masih mungkin mengandung salah. Sebaliknya imam Mazhab lain diyakini salah, tapi masih mungkin mengandung benar. Imam Syafi’I berkata:
إنما عندنا صواب يحمل الخطاء. وما عند غيرنا خطاء يحمل صواب

Akhirnya, marilah kita berdoa supaya Allah menunjuki kita mana yang hak dan kita dapat mengikutinya. Dan menunjukkan mana yang bathil agar kita dapat menjauhinya.
أللهم أرنا الحق حق وارزقنا التباعة. وأرنا الباطل باطل وارزقنا اجتنابة

Wallohu A’lam.

Rabu, 25 November 2009

Hukum Nikah

Hukum Nikah
Sebagian Ulama seperti Imam ‘Izzuddin bin Abd Salam berpendapat bahwa fiqih itu berkisar dan berpusat kepada satu kaidah, yaitu “jalbul mashoolih wa dar’ul mafaasid” (menarik kebaikan dan menolak kerusakan). Kemudian, berdasarkan qoidah fiqih lainnya disebutkan bahwa “alhukmu yadullu ma’a wujuudi ‘illatihi wa ‘adamihi” (hokum ditetapkan berdasarkan ada/tidaknyya illat/sesuatu yang menyebabkan haram/wajib/makruh/dst), juga “dar’ul mafaasid muqoddamun ‘alaa jalbul mashoolih” (menolak kerusakan didahulukan dari menarik kebaikan)
Sebenarnya yang menjadi hal utama dari Nikah bukanlah Poligami atau Monogami, bukan pula sirri atau jahr. Namun, yang paling penting dari itu semua adalah terciptanya suatu keluarga yang Sakinah Mawadah wa Rohmah. Inilah salah satu yang akan dihukumi sebagai mengikuti Sunnah Nabi. Sehingga, hokum asal/pokok dari menikah adalah sunnah. Kemudian, dari qoidah-qoidah fiqih yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang tersebut di atas, Ulama membagi hokum menikah menjadi 5 (seperti yang terdapat dalam banyak kitab-kitab fiqih); Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh dan Haram. (dalam hal poligami, terjadi khilafiah diantara umat islam. Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa hokum asala nikah adalah poligami).
Berkaitan dengan manfaat dan mudharatnya, ulama (MUI ataupun DEPAG sebagai perwakilan ulil amri) bisa memberikan suatu aturan tentang Nikah berkaitan dengan mono/poligami maupun sir/jahr. Saat ini DEPAG memberikan suatu aturan-aturan tertentu dengan mempertimbangkan niat dan manfaat serta mudharatnya untuk kemashlahatan ummat. Wallohu A’lam.